Lulusan The London School of Economics and Political Sciences (LSE) Inggris dalam bidang pembangunan dan globalisasi.
18 Februari 2019
Ekonomi
digital adalah suatu keniscayaan zaman. Suka tidak suka, mau tidak mau,
dunia memang sedang mengarah kesana. Pilihannya, ikut atau tertinggal.
Terdengar kejam, tetapi begitulah kenyataannya. Ketika Pak Jokowi
menyinggung tentang marketplace dan Unicorn dalam debat kedua putaran
Pilpres (17/2/2019) menurut saya itu adalah sebuah bahasan yang normal
saja, sangat wajar. Menjadi unicorn (startup yang nilai asetnya diatas 1
milliar dollar) atau bahkan decacorn (startup dengan nilai diatas 10
miliar dollar) adalah memang mimpi semua pegiat startup.
Sekarang
masalahnya, siapkah kita berada di era ini? Jika kita memang sudah
siap, maka kita tidak perlu defensif jika presiden atau siapapun juga
membahas tentang topik ini. Ini kenyataan hidup. Jika ingin maju dan
tetap survive, kita harus tahu apa itu ekonomi digital dan bagaimana
menghadapinya.
Penulis Pande K Trimayuni bersama Presiden Jokowi (Foto: Istimewa) |
Revolusi Industri 4.0 mencakup perubahan aktifitas perekonomian yang terjadi secara cepat saat ini, dimana model ekonomi konvensional yang kita kenal sudah berganti ke platform digital. Orang tidak perlu lagi pergi ke pasar hanya untuk beli beras atau pergi ke pengkolan untuk cari ojek karena sekali klik lewat smartphone, semua kebutuhan mereka terlayani.
Menarik
sekali mempelajari bagaimana pasar bisa berubah. Pengusaha pariwisata
Bali yang biasa berhubungan dengan konsumen global pasti sangat paham.
30 tahun yang lalu, artshop-artshop sangat populer di Bali. Artshop
adalah ladang dollar bagi seniman Bali. Jaman kemudian berubah, dari
tradisi “artshop” ke tradisi “acung”. Mereka yang bisa mendapatkan
banyak penjualan bukan lagi yang diam menunggu pembeli di artshop tetapi
mereka yang menjemput pembeli, menawarkan barang dagangannya ke
pantai-pantai dan objek-objek wisata.
Sehingga
kemudian muncul banyak OKB (Orang Kaya Baru) dari bisnis acung ini. Dan
sekarang bagaimana? Tradisi Artshop dan Acung sudah digantikan dengan
menjamurnya One Stop Shopping seperti jaringan Toko Krishna Bali dimana
wisatawan dapat mencari semua kebutuhannya di satu tempat. Kehadiran One
Stop shopping semacam ini mengancam pedagang-pedagang kecil yang hanya
mampu menyediakan satu atau beberapa jenis barang saja. Ditambah lagi
adanya kompetitor dari olshop (online shop) yang memberi kemudahan orang
untuk memilih dan berbelanja maka semakin terpuruklah artshop-artshop
tersebut. Begitulah perubahan dan kompetisi pasar terjadi.
Ternyata
yang lebih gesit bisa menangkap peluang ekonomi digital adalah
anak-anak muda di bawah usia 40 tahun. Perubahan menurut mereka ukurannya
bukan lagi bulan ataupun tahun, tetapi hari, menit bahkan detik. Saya
punya sebuah pengalaman pribadi. Saya diminta menjadi konsultan sebuah
perusahaan startup yang sudah cukup mapan di Indonesia untuk membuat
rencana community engagement mereka.
Startup
ini pemilik dan staffnya semua anak-anak muda dibawah 40 tahun. Tetapi
mereka sudah punya loyal customer sekitar 2 juta orang. Dan angka 2 juta
orang itu mereka dapatkan kurang dari 4 tahun. Ketika saya membuatkan
rencana community engagement untuk 1 tahun pertama, mereka protes.
Kelamaan
Bu, katanya. Lho, ini kalian mau memberdayakan masyarakat atau mau
apa?, saya tanya. Mereka jawab, tetapi kalau satu tahun nanti tidak bisa
ikut ritme perusahaan karena direction perusahaan bisa berubah setiap
saat sesuai keadaan pasar. Akhirnya, saya membuatkan skema community
engagement jangka panjang, jangka pendek dan kekinian seperti harapan
mereka. Jadi begitulah. Ternyata anak-anak muda ini lebih terbuka,
antisipatif dan progresif dalam menyambut perubahan.
Mentalitas
seperti inilah yang sebenarnya dibutuhkan di era digital ini. Cerdas,
cepat dan (mesti) bijaksana. Perusahaan startup memang sangat
menjanjikan seseorang sukses dengan cepat. Mereka tidak perlu melalui
tangga karir untuk menjadi seorang milliunner. Tetapi perusahaan startup
ini juga sangat rentan untuk ambruk jika tidak memiliki value dan
integritas yang baik.
Marketplace
berbeda dengan pasar biasa. Para investor mau mengucurkan dana untuk
sebuah startup hanya dengan melihat “potensi” dari startup tersebut 10,
atau 20 tahun yang akan datang. Oleh karenanya banyak startup yang
sekarang sebenarnya masih merugi dalam operasionalnya, tetapi mereka
memiliki valuasi yang sangat tinggi, sampai jutaan bahkan milliaran
dollar. Bisa dicek, berapa sebenarnya keuntungan rill yang dimiliki ole 4
Unicorn Indonesia saat ini, yaitu: Traveloka, Tokopedia, Gojek dan
Bukalapak.
Dalam kasus
Bukalapak yang baru saja terjadi, kita bisa belajar bahwa bagaimana masa
depan suatu startup sangat bergantung pada konsumennya. Ketika sudah
tidak ada lagi kepercayaan konsumen/pasar terhadap suatu startup, maka
habislah dia. Gerakan #uninstall Bukalapak berarti kerugian material
yang sangat besar untuk perusahaan rintisan yang sudah bergelar unicorn
tersebut.
Syukurlah,
Presiden Jokowi dengan bijaksana menghimbau agar masyarakat menghentikan
gerakan uninstall bukalapak karena saat ini Indonesia memang sedang
giat-giatnya mendorong tumbuhnya startup-startup yang berkualitas.
Semoga kasus Bukalapak dan perdebatan tentang Unicorn dapat membuka mata
kita tentang dunia yang kita hadapi saat ini. Syukur-syukur bisa
menjadi pembelajaran untuk lebih maju lagi baik sebagai pribadi anak
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar