Minggu, 20 Januari 2019

Kaum Milenial Antisipasi Perubahan


Kompas, Minggu, 20 Januari 2019  1 & 11



Kaum milenial perlu mengembangkan diri guna mengantisipasi perubahan sebagai akibat dari kemajuan ekonomi. Dengan cara itu Indonesia berpeluang terus menumbuhkan ekonomi digital.

Jakarta, Kompas - Masyarakat Indonesia, terutama kaum milenial, tidak memiliki pilihan selain harus mengantisipasi Revolusi Industri 4.0. hanya melalui upaya ini, masyarakat Indonesia tidak mengalami ketertinggalan. 

“Perubahan-perubahan besar akibat revolusi industri, dimana teknologi dan informasi berkembang dengan cepat, harus diantisipasi. Jangan mengulangi kesalahan saya,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Indonesia Millenial Summit 2019 di Jakarta, Sabtu (19 Januari 2019). 

Ia mengakui pernah mengambil keputusan salah dalam berinvestasi akibat tidak percaya aakan adanya perubahan besar dalam bidang teknologi dan informasi. Pada awal tahun 1990-an, sebagai pengusaha, Kalla tidak mempercayai pernyataan seorang profesor bahwa 25 tahun lagi semua transaksi dilakukan di saku. 

Saat itu, Kalla tetap memutuskan berinvestasi di bidang teekomunikasi dengan kabel. Kini, menurut Kalla, terbukti semua transaksi dilakukan dengan ponsel di saku kita. Wapres mengungkapkan, perubahan besar terjadi akibat perkembangan teknologi dan informasi yang berlangsung cepat. Perubahan meliputi tak hanya gaya hidup,tetapi juga sistem ekonomi.

Kolaborasi

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, di tengah pertemuan Yayasan Pemimpin Muda Indonesia (Young Leaders for Indonesia/YLI), menyampaikan, pemerintah berkomitmen untuk berkolaborasi dengan kaum muda Indonesia.

Kolaborasi diperlukan untuk memperoleh ide-ide dan solusi baru bagi permasalahan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Rudiantara menyebutkan, prospek ekonomi digital di Indonesia terus tumbuh. Pemerintah menargetkan Indonesia memiliki lima perusahaan rintisan kategori unicorn atau perusahaan dengan valuasi diatas 1 miliar dollar AS.

Saat ini terdapat empat perusahaan unicorn, yakni Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, dan Traveloka. Keempatnya telah membantu menghubungkan usaha mikro, kecil, dan menengah ke pasar.
Menurut dia, laporan McKinsey mengatakan, Indonesia kekurangan tenaga untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 sebanyak 9 juta orang pada 2015-2030. “Artinya, kita membutuhkan 600.000 tenaga dalam setahun,” ujarnya.

CEO PT Tokopedia I Ketut Adi Putra mengatakan tantangan saat itu adalah ketersediaan tenaga kerja yang kompeten di bidang teknologi digital. Selain ketersediaan tenaga kerja yang terbatas, aspek kualitas kompetensi tenaga kerja juga masih menjadi momok.

Ia sepakat bahwa industri digital akan tumbuh lebih baik pada 2019. Pertumbuhan tidak hanya  akan terjadi pada sektor e-dagang dan transportasi,tetapi juga di sektor pendidikan, kesehatan,dan media.

Keberagaman

Selain isu penguasaan teknologi, penghargaan terhadap keberagaman juga merupakan pembahasan penting dalam kaitannya dengan kaum milenial. Dalam Indonesia Millenial Summit 2019, Kalla mengapresiasi semangat menghargai keberagaman yang diperlihatkan generasi milenial Indonesia. Rasa hormat terhadap keberahaman di masyarakat merupakan bekal yang berguna.

Dalam acara itu, Indonesia Millenial Report 2019 menyebutkan, 89,1 persen milenial optimistis terhadap kehidupan keberagaman di Indonesia. Terungkap pula 86,7 persen milenial optimistis terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Optimisme lain juga ditunjukkan pada sistem demokrasi (83,6 persen) dan kondisi keamanan di Indonesia (83,4 persen).

Indonesia Millenial Report 2019 adalah survei yang dilakukan IDN Research Institute bersama Alvara Research Center. Riset yangmelibatkan lebih dari 1.400 responden di 12 kota ini bertujuan menelisik perilaku dan kebiasaan milenial di Indonesia.

Milenial didefinisikan sebagai orang yang lahir pada awal 1980-an hingga akhir 1990-an.Jumlah mereka berkisar 70 juta-80 juta orang dari total penduduk Indonesia sekitar 260 juta jiwa. 

(LSA/NTA/TAN/E19).

Sumber ilustrasi : 

Sabtu, 19 Januari 2019

Apa Itu Revolusi Industri 4.0 ?

Oleh : Marcel Susanto
18 Januari 2019



Konsep “Industri 4.0” pertama kali digunakan di publik dalam pameran industri Hannover Messe di kota Hannover, Jerman di tahun 2011. Dari peristiwa ini juga sebetulnya ide “Industri 2.0” dan “Industri 3.0” baru muncul, sebelumnya cuma dikenal dengan nama “Revolusi Teknologi” dan “Revolusi Digital”. Nah, lo mungkin bisa nebak, setelah 2 revolusi itu, revolusi macam apa lagi sih yang bisa terjadi?

Perhatikan deh, semua revolusi itu terjadi menggunakan revolusi sebelumnya sebagai dasar. Industri 2.0 takkan muncul selama kita masih mengandalkan otot, angin, dan air untuk produksi. Industri 3.0 intinya meng-upgrade lini produksi dengan komputer dan robot. Jadi, industri 4.0 juga pasti menggunakan komputer dan robot ini sebagai dasarnya. Jadi, kemajuan apa saja yang muncul di dunia komputer kita akhir-akhir ini?

Pertama, kemajuan yang paling terasa adalah internet. Semua komputer tersambung ke sebuah jaringan bersama. Komputer juga semakin kecil sehingga bisa menjadi sebesar kepalan tangan kita, makanya kita jadi punya smartphone. Bukan cuma kita tersambung ke jaringan raksasa, kita jadinya SELALU tersambung ke jaringan raksasa tersebut. 

Inilah bagian pertama dari revolusi industri keempat: “Internet of Things” saat komputer-komputer yang ada di pabrik itu tersambung ke internet, saat setiap masalah yang ada di lini produksi bisa langsung diketahui SAAT ITU JUGA oleh pemilik pabrik, di manapun si pemilik berada!

Ponsel pintar (smartphones) yang senantiasa membuat kita terhubung dengan dunia luar adalah instrumen penting dalam revolusi industri 4.0.

Kedua, kemajuan teknologi juga menciptakan 1001 sensor baru, dan 1001 cara untuk memanfaatkan informasi yang didapat dari sensor-sensor tersebut yang merekam segalanya selama 24 jam sehari.  Informasi ini bahkan menyangkut kinerja pegawai manusianya. Misalnya, kini perusahaan bisa melacak gerakan semua dan setiap pegawainya selama berada di dalam pabrik. 

Dari gerakan tersebut, bisa terlihat, misalnya, kalau pegawai-pegawai tersebut menghabiskan waktu terlalu banyak di satu bagian, sehingga bagian tersebut perlu diperbaiki. Masih ada 1001 informasi lainnya yang bisa didapat dari 1001 data yang berbeda, sehingga masih ada 1001-1001 cara meningkatkan produktivitas pabrik yang semula tak terpikirkan. Karena begitu banyaknya ragam maupun jumlah data baru ini, aspek ini sering disebut Big Data.

Ketiga, berhubungan dengan yang pertama dan kedua, adalah Cloud Computing. Perhitungan-perhitungan rumit tetap memerlukan komputer canggih yang besar, tapi karena sudah terhubung dengan internet, karena ada banyak data yang bisa dikirim melalui internet, semua perhitungan tersebut bisa dilakukan di tempat lain, bukannya di pabrik. Jadi, sebuah perusahaan yang punya 5 pabrik di 5 negara berbeda tinggal membeli sebuah superkomputer untuk mengolah data yang diperlukan secara bersamaan untuk kelima pabriknya. Tidak perlu lagi membeli 5 superkomputer untuk melakukannya secara terpisah.

Keempat, ini yang sebetulnya paling besar: Machine learning, yaitu mesin yang memiliki kemampuan untuk belajar, yang bisa sadar bahwa dirinya melakukan kesalahan sehingga melakukan koreksi yang tepat untuk memperbaiki hasil berikutnya. Ini bisa dilukiskan dengan cerita “AlphaZero AI”. Sebelum Machine Learning, sebuah komputer melakukan tugasnya dengan “Diperintahkan” atau “Diinstruksikan” oleh manusia. Untuk lebih detilnya, lo bisa baca artikel mengenai Artificial Intelligence.

Mengkombinasikan keempat hal ini artinya perhitungan yang rumit, luar biasa, dan tidak terpikirkan tentang hal apapun bisa dilakukan oleh superkomputer dengan kemampuan di luar batas kemampuan manusia. Kenyataannya tentu saja saat ini belum sekeren itu. Point keempat, yaitu AI dan Machine Learning, masih amat terbatas untuk tugas-tugas tertentu. Bukan cuma Indonesia, negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat saja masih terus menerus memperdebatkan konsekuensi dari revolusi industri keempat ini, sebab revolusi ini MASIH berlangsung, atau bahkan BARU DIMULAI. 

Tantangannya masih banyak. Koneksi internet misalnya, belum universal. Masih ada beberapa daerah yang tak memiliki koneksi internet, bahkan di Amerika Serikat sekalipun. Selain itu, koneksi internet berarti munculnya celah keamanan baru. Perusahaan saingan pasti berusaha mengintip kinerja dan rancangan produksi lewat celah keamanan komputer pengendali produksi yang kini bisa diakses dari internet.

Penutup

Kita saat ini sedang dalam masa bersejarah, masa saat revolusi industri keempat sedang dibicarakan, dipersiapkan, diperdebatkan, dan dimulai. Melihat pola sejarah, akan terjadi perubahan besar di dunia ini. Jutaan pekerjaan lama yang semula mapan, yang semula diandalkan oleh kakek-nenek bahkan ayah-ibu kita akan menghilang. Jutaan pekerjaan baru yang tak terpikirkan oleh kita akan muncul. Jadi, gue sih cenderung optimis soal ini, ya.

Setiap revolusi industri sebetulnya adalah proses yang rumit dengan pengaruh luar biasa luas maupun dalam di masyarakat. Artikel yang gue tulis ini baru menyentuh permukaan setiap revolusi industri, di saat revolusi industri keempat sedang berlangsung. Jadi, sebenarnya kita masih belum tahu sejauh mana Revolusi Industri 4.0 ini akan memberikan dampak bagi peradaban manusia. Namun, gue mengajak lo semua untuk berspekulasi, dengan basis segala hal yang terjadi pada ketiga revolusi industri sebelumya, kita bisa menerka apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Jujur saja, gue ini seringkali lebih pesimis daripada orang-orang lain. Namun, untuk kasus ini, gue optimis. Karena, setiap revolusi industri, walaupun mengguncang ekonomi, politik, bahkan budaya, meski memiliki banyak sekali sisi negatif dan masalah, selalu membawa kita ke masyarakat yang lebih baik. Revolusi industri keempat akan menggilas banyak orang, tetapi siapa bilang orang-orang yang tergilas itu tidak bisa bangkit dan memanfaatkan roda penggilas mereka? 

Sabtu, 12 Januari 2019

Revolusi Industri 4.0 dan Perekonomian Indonesia


Oleh : Ari Kuncoro
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Kompas, Sabtu, 12 Januari 2019 :6.

Prof. Ari Kuncoro,SE,MA,Ph.D 
Dalam pergaulan kaum milenial sekarang, ada istilah “gaptek” atau gagap teknologi yang menggambarkan kegagapan banyak orang pada apa yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0.


Perkembangan teknologi informasi yang kemudian berwujud pada penggunaan gawai dan platform, seperti telepon pintar, teknologi informasi berbasis cloud dan data analytic, telah melanda masyarakat, baik secara individu, kelompok maupun secara institusi.

Seperti halnya dalam setiap revolusi industri sebelumnya, selalu ada peluang baru dan ancaman. Pada tingkat perseorangan kemampuan yang dibutuhkan untuk menguasai teknologi informasi  adalah kemampuan logika dan bahasa. Mata pelajaran matematika dan bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa asing) mengajarkan berpikir logis, sistematis menerawang ke alam ide, mulai  dari membuat program (coding) sampai melihat masalah dari luar kotak (out of the box).

Ide dapat menghasilkan pemikiran baru dan melalui kemampuan berargumentasi dan berinteraksi dengan orang lain/masyarakat dapat diwujudkan jadi aplikasi fisik (gawai/gadget) ataupun nonfisik (sistem). Sayang sekali skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang diujikan pada murid-murid sekolah dasar sedunia masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Seperti yang sudah diduga, matematika dan membaca merupakan titik lemah.

Sofistikasi bisnis

Indonesia adalah termasuk pengguna media sosial terbesar di dunia (143 juta pemakai), tetapi penggunaan internet untuk daya saing bisnis masih tertinggal. Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) menempatkan Indonesia di peringkat ke-32 untuk sofistikasi bisnis (business sophistication) dan peringkat ke-80 untuk kesiapan teknologi. Salah satu contoh sederhana adalah penggunaan e-mail untuk menghubungi pelanggan,  penggunaan situs perusahaan, dan lain-lain karena kelemahan dalam komposisi (merangkai kata-kata sehingga mempunya daya argumentasi yang kuat).

Dalam dunia bisnis, terutama relasi internasional teknologi informasi berperan sangat penting. Kegagalan melakukan tindak lanjut (follow up), berkoordinasi. Dan menepati jadwal penyerahan barang (delivery) dapat mengakibatkan suatu perusahaan terpelanting atau terkucil dari jaringan distribusi/produksi internasional. Saat ini keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi internasional mengalami stagnasi (Ando dan Kimura [2013]).

Di sektor manufaktur Indonesia, basis ekspor sekarang lebih terkonsentrasi di sektor makanan (ekspor minyak kelapa sawit) dan otomotif yang didominasi oleh prinsipal dari Jepang dan Korea Selatan. Basis ekspor ayng sempit ini menyebabkan Indonesia rentan terhadap siklus bisnis dan disrupsi terhadap perdagangan dunia, seperti yang terjadi saat ini sebagai akibat dari perang dagang AS-China.
Neraca perdagangan yang defisit pada beberapa bulan tertentu ditahun2018 turut menjelaskan kelemahan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dalam menghadapi perubahan di jaringan produksi internasional yang makin tersebar di berbagai lokasi/negara. Penguasaan teknologi informasi mutlak dibutuhkan untuk konfigurasi produksi seperti ini. Secara spesifik kemampuan manajemen logistik dan kemampuan mengelola manusia dengan latar belakang yang berbeda (kemampuan bahasa dan koordinasi) adalah dasar-dasar untuk memperbaiki peranan Indonesia dalam jaringan produksi internasional.

Bagi Indonesia, tidak ada cara lain kecuali memperbaiki kelemahan di pendidikan dasar ini dengan kurikulumyang mengembangkan logika, bahasa, dan kreavitas. Matematika harus diajarkan sebagai logika tidak semata-mata sebagai alat menghitung apalagi hafalan, bahasa diajarkan sebagai media untuk emlakukan analisis naratif yang kritis dan berargumen. Mata ajar yang mendorong kreativitas seperti mengarang esai, bercakap-cakap, dan prakarya perlu diintensifkan kembali.

Dengan perbaikan talenta dasar seperti itu pun tidak ada jaminan bahwa semua pekerjaan akan dapat dipertahankan. Otomatisasi dan digitalisasi akan menghilangkan beberapa jenis pekerjaan, seperti kasir di loket bank, pemasar jarak jauh, atau paling tidak seperti auditor berubah menjadi analis.

Tingkah laku konsumen

Dengan efek demosntrasinya, teknologi informasi mampu menggoda masyarakat untuk merambah hierarki kepuasan Maslow (1987) ke tingkat yang lebih tinggi. Pertumbuhan pada konsumsi jasa, seperti hotel dan restoran, melakukan perjalanan lebih tinggi dari konsumsi makanan, pakaian, sepatu, dan perlengkapan rumah tangga sejak Juni 2015. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada triwulan III-2018 pengeluaran konsumen untuk hotel dan restoran tumbuh sebesar 5,6 persen per tahun (year on year/YOY), demikian juga pengeluaran untuk transportasi.

Pertumbuhan ini ada di atas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencatat 5,17 persen per tahun (YOY) dan juga konsumsi masyarakat secara keseluruhan (5,2 persen per tahun YOY).hal ini dikonfirmasi dengan pertumbuhan sisi produksi perekonomian, subsektor hotel dan restoran tumbuh5,9 persen YOY, transportasi dan pergudangan 5,6 persen, serta perdagangan besar dan eceran 5,3 persen.


Selain keunggulan di bidang SDM, bisnis daring (online) internasional punya peluang untuk memiliki keunggulan tidak sepadan (different level playing field) terhadap bisnis konvensional dan daring dalam negeri. Industri ritel dalam negeri dengan beban regulasi yang mereka hadapi mungkin harus menghadapi rantai pasokan transnasional dengan beban regulasi, seperti perpajakan, lingkungan, dan persaingan usaha yang jauh lebih ringan.

Meningkatnya pertumbuhan sektor pergudangan, misalnya, mungkin hanya mencerminkan gejala ini. Sejak maraknya bisnis daring pada 2015 telah terjadi kenaikan pesat dari impor bahan konsumsi tahan lama dan semi tahan lama. Untuk tahun 2016 dan 2017, rata-ratanya adalah 2 persen per tahun.jauh lebih tinggi dari barang konsumsi tidak tahan lama (11,6 persen), bahan baku dan penolong (6,5 persen), serta barang modal (0,91 persen).

Cara pandang ke depan dan metode pengambilan keputusan

Perkembangan teknologi informasi meneybabkan sifat interaksi antara individu dan pemangku kepentingan antara tidak lagi sekadar satu arah atau dua arah, tetapi lebih merupakan suatu strategic game dengan banyak pelaku.

Implikasi bagi pengambil keputusan, baik pemerintah, korporasi, maupun institusi lain, hal ini akan memerangi perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang dalam membuat, menilai, dan memahami prospek (outlook) ke depan dalam bidang sosia-ekonomi, perkembangan teknologi, pergeseran aliansi, geopolitik dan perubahan tingkah laku masyarakat.

Berbeda dengan yang sebelumnya, yang membuat adaptasi teknologi pada Revolusi Industri 4.0 sukar adalah sifatnya yang virtual dan perkembangan teknologinya yang begitu cepat mendahului daya serap institusi pengambil keputusan. Kebiasaan yang lazim digunakan adalah menggunakan data ex-post yang dikumpulkan di masa lalu dan bukan real time.

Setelah penyaringan data, informasi yang ada kemudian dibawa ke focus group discussion (FGD) untuk diambil keputusan. Berbeda dengan pendekatan di atas, metode pengambilan keptusan terbaru a la Industri 4.0 disebut sebagai headline matching. Pendekatan ini mencoba mencari pola tingkah laku manusia dari mulai kepala negara, pemilik modal, sampai konsumen dari berita-berita utama di media baik cetak maupun daring.

Dari berbagai berita utama tersebut, tampak awam mendung mulai berkumpul di ufuk barat. Kejatuhan harga saham di Amerika Serikat ini adalah ayng terburuj setelah Depresi Besar 1930-an. Beberapa pihak telah meramalkan bahwa resesi di AS sudah dekat. Tanda-tanda lainnya adalah kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang terlalu dini dan ketegangan perseteruan daang AS-China yang belum juga mencapai titik temu.

Seperti halnya pepatah dalam setiap kesempitan selalu ada kesempatan, beberapa pihak justru melihatnya sebagai kesempatan untuk kebangkitan Asia, khususnya Asia Tenggara. Pemodal jangka pendek dan jangka panjang diperkirakan akan kembali ke Asia. Harga minyak yang cenderung turun akan menguntungkan negara-negara importir neto (net importer) seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand diperkirakan akan menerima dari rantai pasokan dari industri berteknologi tinggi di China yang terpaksa hengkang dari China karena perang dagang.

Readiness for Future Production Report (World Economic Forum, 2018) menyebutkan bahwa dalam kesiapan menghadapi Industri 4.0 dari struktur produksi, Thailand dianggap sudah siap. Vietnam dan Indonesia masih agak tertinggal karena dikategorikan sebagai nascent countries pada driver and structure of production, yang artinya sudah mulai terlihat eksistensinya, mempunyai potensi, tetapi perlu bekerja lebih keras.

Walaupun demikian, Vietnam mempunyai keuntungan secara geografis karena lebih dekat ke jalur perdagangan atau distribusi internasional. Peluang bagi Indonesia adalah dengan memilih satu atau dua lokasi di jalur selat Malaka sebagai pusat logistik, misalnya di Kuala Namu, Batam, atau Kepulauan Riau.

Jumat, 04 Januari 2019

Mematahkan Mitos NEM, IPK dan Ranking : Renungan bagi Guru dan Dosen

Dr. Agus Budiyono
Chief Scientific Officer 
at Bhimasena Research, Technology and Development


Dr. Agus Budiyono. Foto : LinkedIn
Ada tiga konsep yang tidak saya percayai sepenuhnya dalam sistem pendidikan yaitu: NEM, IPK dan ranking.

Saya mengarungi sistem pendidikan selama 22 tahun (1 tahun TK, 6 tahun SD, 6 tahun SMP-SMA, 4 tahun S1, 5 tahun S2 & S3) dan kemudian dilanjut mengajar selama 15 tahun di universitas di tiga negara maju (AS, Korsel, Australia) dan tanah air.   

Saya menjadi saksi betapa tidak relevannya ketiga konsep di atas dengan apa yang secara normal didefinisikan sebagai kesuksesan.

Ternyata sinyalemen saya ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley yang memetakan 100 faktor yang akan berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US.

Berdasarkan hasil penelitian beliau ternyata nilai yang baik (yakni NEM, IPK dan tentu saja rangking) hanyalah faktor sukses no ke 30! Sementara itu faktor IQ pada urutan ke-21 dan bersekolah ke universitas/sekolah favorit di urutan ke-23. Jadi saya ingin mengatakan secara sederhana:

▪ Anak anda nilai matematikanya 45 ? Tidak masalah.
▪ Tidak lulus ujian fisika ? Bukan masalah besar.
NEM tidak begitu sesuai harapan ?  Paling banter akibatnya adalah tidak bisa masuk sekolah favorit. Yang memang, menurut hasil riset, tidak terlalu pengaruh ke kesuksesan aniwei.
IPK termasuk golongan dua koma (baik dua koma sembilan….belas maupun dua koma pas) ? Jangan sedih. IPK pan hanya mitos. Paling banter adalah hanya alat ukur. Yang tidak akurat aniwei.
Anak anda sekolah di SMA 11 dan bukan SMA 3 Bandung ? 

Lalu apakah faktor yang menentukan kesuksesan seseorang itu ? Menurut riset Stanley berikut ini adalah sepuluh faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan:

1. Kejujuran (Being honest with all people)
2. Disiplin keras (Being well-disciplined)
3. Mudah bergaul (Getting along with people)
4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)
5. Kerja keras (Working harder than most people)
6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving my career/business)
7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)
8. Kepribadian kompetitif (Having a very competitive spirit/personality)
9. Hidup teratur (Being very well-organized)
10.Kemampuan menjual ide (Having an ability to sell my ideas/products)

Hampir kesemua faktor ini tidak terjangkau dengan NEM dan IPK.

Dalam kurikulum ini kita kategorikan soft skill. Biasanya peserta didik memperolehnya dari kegiatan ekstra-kurikuler.

Sumber : http://p2tel.or.id/2019/01/mematahkan-mitos-nem-ipk-dan-ranking/