Oleh : Satryo Soemantri Brodjonegoro
Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB,
Konsil Kedokteran Indonesia,
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Konsil Kedokteran Indonesia,
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Satryo Soemantri Brodjonegoro |
Pendidikan adalah proses pemberdayaan yang bernilai tambah,
yang memampukan individu untuk lebih berkarya mencapai tingkat kehidupan yang
lebih baik. Dengan pemahaman tersebut, masa depan individu sangat ditentukan
oleh pendidikan yang ditempuhnya.
Pendidikan yang dimaksud di sini generik sifatnya, tidak
membedakan jenjang, tingkat, jenis, ataupun tahapnya. Pendidikan sangat erat
kaitannya dengan kemampuan atau kebisaan (ability) individu, berarti pendidikan
tidak boleh diterapkan secara masif karena akan menghilangkan faktor individu
yang justru menjadi faktor utama.
Keutamaan individu dalam proses pendidikan akan sangat
menentukan efektivitas dan keberhasilannya. Yang paling mengetahui dan
merasakan keberhasilan pendidikan adalah individu peserta didik, bukan
pendidiknya, apalagi pengelolanya. Penerapan student centered learning (SCL)
saat ini secara prinsip sudah sejalan dengan tujuan memampukan individu untuk
berkarya melalui pembelajaran, dengan setiap peserta didik dididik untuk selalu
belajar dan pendidik fungsinya membelajarkan peserta didik, bukan mengajari.
Meski demikian, dalam implementasi SCL saat ini masih
sebatas formalitas karena ketidaksiapan pendidik dan juga pengelolanya, apalagi
pendekatan yang dilakukan adalah pendidikan secara masif. Alasan masifikasi
adalah karena jumlah peserta didik yang sangat banyak, dan untuk simplifikasi proses
SCL dilakukan asesmen yang sifatnya administratif, bukan substansi.
Pendidikan yang masif cenderung memarginalkan peran peserta
didik dan lebih mengedepankan peran pengelola dan pendidik, artinya tidak
sesuai dengan makna pendidikan yang sesungguhnya. Ukuran keberhasilan
pendidikan masif lebih bersifat administratif dan mengarah kepada pencitraan.
Adanya pemeringkatan tingkat keberhasilan pendidikan makin memperparah makna
pendidikan yang sebenarnya dan makin menguatkan fungsi pencitraan. Akhirnya yang
menjadi korban adalah peserta didik dan masyarakat di mana keberdayaannya
lemah, tidak mampu mandiri, dan sangat tergantung kepada negara.
Pendidikan masa depan
Faktor lain yang juga sangat penting dalam proses pendidikan
adalah memampukan peserta didik untuk sintas (survive) di masa depan, artinya
pendidik harus mampu membekali para peserta didik sehingga tidak tersisih oleh
kondisi yang terjadi di masa mendatang. Berarti pendidikan harus mampu
mengantisipasi masa depan dalam jangka yang panjang, tidak hanya yang saat ini,
apalagi masa lalu.
Pendidikan yang saat ini diselenggarakan masih berorientasi
kepada masa lalu karena para pendidiknya adalah produksi masa lalu dengan pola
pikir lama. Para pendidik menggunakan pengalaman dan pengetahuan masa lalunya
dalam mendidik peserta didik saat ini.
Dengan demikian terjadi kesenjangan antara pengalaman dan
pemahaman para pendidik terhadap harapan peserta didik serta pemangku
kepentingan lainnya, di mana peserta didik berharap dapat berkarya di masa
mendatang, padahal bekal yang diberikan oleh para pendidik adalah pengalaman
masa lalu. Hal itu yang selama ini terjadi di pendidikan, di mana para peserta
didik merasakan bahwa apa yang mereka peroleh dari pendidikan tidak terasa
manfaatnya, bahkan lapangan pekerjaan tidak terlalu peduli terhadap pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh berbagai institusi atau lembaga.
Perekrut tenaga kerja hanya peduli terhadap apa yang dapat
dilaksanakan oleh calon tenaga kerja untuk meningkatkan keuntungan perusahaan,
sedangkan di pemerintah melalui skema pegawai negeri sipil perekrut hanya
peduli terhadap tingkat kepatuhan calon tenaga kerja kepada pimpinan dan
negara. Contoh nyata adanya pengumuman oleh Google Inc. yang tidak mensyaratkan
calon pegawainya lulusan perguruan tinggi. Permintaan mereka cukup sederhana,
yaitu mampu mengembangkan perangkat lunak yang bisa diraih melalui pelatihan
seperti halnya balai latihan kerja (BLK) maupun berbagai pelatihan lainnya.
Berbeda dengan Google Inc, perusahaan yang sangat maju di Korea,
Hyundai, mempunyai R&D center berkekuatan 1.000 doktor. Dalam hal ini
Hyundai dan sejumlah perusahaan yang maju lainnya justru membutuhkan keberadaan
perguruan tinggi yang mampu menghasilkan doktor berkualitas. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa tidak ada satu bentuk pendidikan yang mampu memenuhi seluruh
harapan masyarakat dan pemangku kepentingan yang sangat beragam.
Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihindari. Dengan demikian, keberagaman harus dirawat, dirajut, diperkuat,
dikokohkan melalui pendidikan. Hanya pendidikanlah yang berpeluang untuk
menjadikan keberagaman suatu kekuatan yang mampu menjadikan negara maju dan
berdaulat.
Tantangan pasca-Revolusi
4.0
Salah satu tantangan masa depan yang harus diantisipasi
adalah Revolusi 4.0, di mana perkembangan teknologi informasi dan intelegensia
artifisial sangat cepat bahkan jauh lebih cepat dari yang dibayangkan para
ahli. Ciri Revolusi 4.0 adalah punahnya sejumlah jenis pekerjaan yang dapat
digantikan oleh teknologi informasi dan intelegensia artifisial, sebaliknya
terdapat sejumlah jenis pekerjaan yang tidak pernah mungkin digantikan oleh
teknologi informasi dan intelegensia artifisial. Apakah ada jenis pekerjaan
yang tidak mungkin digantikan oleh kecerdasan buatan manusia?
Jawabannya sangat ada, yaitu jenis pekerjaan yang
membutuhkan social skills (kecakapan sosial) yang tinggi. Kecakapan sosial
berbeda dengan kemampuan atau keterampilan atau kompetensi sosial, kecakapan
sosial sifatnya lebih mendalam dan intrinsik melekat dengan individu,
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dapat digantikan oleh kecerdasan buatan.
Adapun keterampilan atau kemampuan atau kompetensi sosial masih mungkin
digantikan oleh kecerdasan buatan karena sifatnya artifisial dan tidak melekat
secara intrinsik terhadap individu.
Pendidikan masa depan seharusnya mampu membekali peserta
didik dengan kecakapan sosial sedemikian rupa sehingga mereka akan sintas
pasca-Revolusi Industri 4.0. Pertanyaan berikutnya adalah pendidikan seperti
apa yang harus diberikan kepada peserta didik dan bagaimana caranya?
Perubahan paradigma pendidikan
Salah satu ciri kecakapan sosial adalah kecakapan dalam
menangani persoalan yang kompleks yang sering kali tidak ada solusinya dan,
kalaupun ada solusinya, solusi tersebut tidak menimbulkan persoalan baru.
Kecakapan tersebut harus ditunjang oleh sejumlah kemampuan, seperti kemampuan
analitis nonrutin dan kemampuan kognitif nonrutin.
Pendidikan yang dapat menjawab tantangan ini adalah
pendidikan yang membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis dan
analitis, dan sudah harus dimulai sejak dini, sejak pendidikan dasar. Tentu
kemampuan tersebut harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis
peserta didik, sesuai tingkat kematangan individu. Jika kemampuan berpikir telah
terbentuk, dengan sendirinya peserta didik akan memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi. Keingintahuan yang tinggi akan memacu individu untuk terus berpikir ke
arah kemajuan dan selalu mencari sesuatu yang baru.
Pencarian tersebut diwujudkan dalam bentuk pembelajaran
sepanjang hayat, di mana individu selalu belajar selama hidupnya untuk bertahan
hidup. Tanpa pembelajaran tersebut, dapat dipastikan bahwa individu tidak
sintas menghadapi tantangan pasca-Revolusi 4.0. Pada saat ini pendidikan di
Indonesia belum menerapkan pendekatan seperti ini, belum membentuk kemampuan
berpikir individu, dan belum menumbuhkan kebutuhan belajar individu.
Strategi untuk perubahan pendidikan harus dilakukan dengan
perubahan pola pikir para pelaku pendidikan, di mana para pendidik seyogianya
mampu membelajarkan para peserta didik, bukan sekadar mengajari dan melatih
mereka. Membelajarkan peserta didik jauh lebih sulit daripada sekadar mengajari
dan melatih mereka karena harus bersifat individual, tidak dapat dilakukan
secara masif, dan penuh dengan variasi keberagaman. Paradigma lama pendidikan
yang mengutamakan kepatuhan dan ketaatan harus diubah dengan paradigma baru
yang memampukan berpikir dan belajar sepanjang hayat.
Perubahan ini harus didukung oleh kemauan politik pemerintah
karena harus didukung oleh semua pemangku kepentingan pendidikan. Perubahan ini
harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang pendidikan visi
2045 yang menjadi dasar kebijakan pembangunan nasional.
Ada isu besar yang akan
dihadapi oleh dunia pada tahun 2052 menurut Jorgen Randers dalam bukunya A
Global Forecast for the Next Forty Years 2052, yaitu berakhirnya kapitalisme,
berakhirnya pertumbuhan ekonomi, berakhirnya demokrasi yang lambat, berakhirnya
keharmonisan antargenerasi, dan berakhirnya iklim yang stabil.
Indonesia akan sintas terhadap tantangan besar ini sekiranya kapasitas individu dan masyarakatnya sudah terbekali dengan kecakapan sosial yang tinggi, terlepas dari benar tidaknya prakiraan tersebut.
Indonesia akan sintas terhadap tantangan besar ini sekiranya kapasitas individu dan masyarakatnya sudah terbekali dengan kecakapan sosial yang tinggi, terlepas dari benar tidaknya prakiraan tersebut.
Sumber :
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas,
21 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar