Senin, 16 September 2019

Tantangan dan Peluang Karier di Era Digital : Siapkah Anda Menambang Emas dari Dunia Maya?

Oleh: Bambang Haryanto

Pramudya Ananta Toer perlu Hasta Mitra. JK Rowling, setelah 12 penerbit menolak "Harry Potter"-nya, akhirnya bisa bekerja sama dengan Bloomsbury. Stevie Wonder butuh Motown. Francis Ford Coppola dengan Paramount Pictures. Iqbal Ramadhan ngetop dalam Dilan 1990 dan butuh Falcon Pictures.

Satu sampai dua abad terakhir seniman selalu membutuhkan fihak lain untuk memajukan kariernya : penerbit, diler seni, studio film atau label rekaman. Untuk mampu menjangkau konsumen secara luas, seniman membutuhkan sistem.

Model bisnis itu masih berjalan sampai kini, tetapi kehadiran Internet membuat lanskapnya berubah. Bahkan sebagian besar jungkir balik. "Ketika terjadi perkembangan baru di bidang teknologi, itulah kesempatan kita untuk menata klasemen kembali," begitu petuah Steve Jobs.

Scott Kirsner dalam bukunya Fans, Friends & Followers : Building an Audience and a Creative Career in the Digital Age (2010) lalu memberi garis bawah : "Era kreativitas digital masa kini  telah menghadirkan peluang yang luar biasa. Anda dapat melakukan apa yang Anda sukai, menjangkau audiens,  dan mendapatkan uang.

Apa yang dimulai sebagai basis penggemar kecil bisa tiba-tiba menjadi global, memungkinkan Anda untuk keluar dari pekerjaan Anda dan mendapatkan penghasilan yang solid."

Sekadar bukti, lihatlah sosok Kang Pardi dari Ponorogo yang terjun sebagai pelaku kreatif era digital. Sebagai youtuber kreasinya mampu menghasilkan pemasukan belasan juta setiap bulan. Dia tidak butuh makelar, lembaga intermediary, antara karyanya dengan penggemarnya. Dia hanya butuh kamera di HPnya dan akun YouTube miliknya.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri bahkan sempat membanggakan kisah Kang Pardi tadi kepada 1.000 mahasiswa Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI). Menurut dia, cerita Pardi yang merupakan warga desa berpenghasilan hingga belasan juta rupiah per bulan itu, bisa menjadi inspirasi bagi para mahasiswa.

"Pardi dikenal oleh tetangganya sebagai pengangguran karena kerjanya hanya main-main saja. Padahal si Pardi ini Youtuber yang subscriber-nya banyak sehingga banyak produk yang pasang iklan di channel Youtubenya. Penghasilannya Rp 15 jutaan per bulan," kata Hanif.

Menurut Hanif, cerita Pardi merupakan gambaran bahwa era revolusi industri 4.0 menawarkan peluang pekerjaan baru bagi masyarakat. Kepada mahasiswa, Hanif mengatakan mahasiswa harus mampu beradaptasi terhadap perubahan.

"Untuk mengantisipasi perubahan zaman yang dipengaruhi perkembangan teknologi informasi, kita harus adaptif. Pasalnya 65% pekerjaan baru yang akan muncul di masa depan tidak diketahui saat ini. Yang mampu bertahan hidup bukan yang paling kuat dan pintar tapi yang paling mampu merespons perubahan," ujar Hanif yang menghadiri kegiatan Masa Orientasi Mahasiswa baru Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat,  seperti dilaporkan Detik Finance, 15 Agustus 2018.

Agar sukses di era teknologi informasi, menurut Hanif, mahasiswa harus memiliki karakter kuat, kreatif, dan inovatif. "Mahasiswa harus berkarakter, kreatif, dan inovatif. Jangan puas jika sudah menguasai satu keahlian karena saat ini karakter pekerjaan bisa cepat berubah. Kembangkan keahlian dengan kreativitas dan berinovasilah," ungkap Hanif.

Terima kasih, Pak Hanif, untuk pembekalannya. Semoga generasi muda Indonesia bersedia mendengarkan dan mempraktekkannya.

Anda berminat? Belum terlambat.