Rabu, 11 Desember 2019

Story Telling, Strategi Andal Menjual di Era Digital

Oleh : Bambang Haryanto

Salesman mobil. Di era media sosial tak cukup hanya menanti konsumen di diler. Dia harus juga menjadi story teller.

Pasang wajah cantik bersama mobil, atau menderetkan daftar diskon dan servis gratis, tak lagi menjadi daya ungkit utama bagi konsumen untuk meliriknya. Konsumen butuh cerita.

***

"Saya tidak sakit," kata Mas Narto* kepada saya. Kami saat itu berada di tengah ratusan pasien yang antri di suatu rumah sakit daerah. "Saya mengantarkan bapak itu," sambil menunjuk seorang pria sepuh tidak jauh dari kami.

Bapak sepuh itu bukan orangtua Mas Narto. "Dia tetangga saya," jelasnya. Obrolan di bulan puasa tahun lalu itu makin menarik ketika dia cerita riwayat hidupnya. Belasan tahun jadi nelayan pengelola tambak mutiara di Indonesia Timur. Lalu kembali ke Wonogiri, kota saya, menjadi petani.

Di desanya, bukan hanya dia yang punya mobil. Ia menyebut merek mobil, keluaran tahun lama. Mobil itu pula kini ibarat sebagai ambulan di desanya. Siap mengantar warga desanya ke rumah sakit bila diperlukan.

Mas Narto bisa menyebut belasan nama rumah sakit, baik di Wonogiri, Sukoharjo dan juga Solo. Termasuk prosedur pendaftaran, rawat jalan, rawat inap. sampai jadwal kontrol pasien. Pernah dia mengantar pasien datang ke rumah sakit pagi hari, sementara jadwal operasinya menjelang tengah malam hari. 

"Saya tidak ngarani. Alias tidak menentukan tarif untuk layanan saya ini. Untuk bensin, cukuplah."

***

Mas Narto (bukan nama sebenarnya), bagi saya, amat mengagumkan. Bila saja saya pemilik diler mobil, dia akan saya pinjami mobil yang lebih baru. Akan pula saya jadikan sebagai brand ambassador. Karena jiwa sosial dan kemanusiaannya telah menginspirasi kita semua.

Minggu, 08 Desember 2019

Insight, Kunci Survive Anda Di Tengah Kekaburan Era VUCA

Oleh : Bambang Haryanto

(1) Mobil patroli polisi menunggu lampu hijau menyala. Opsir tua menyopir. Mitranya, opsir muda, tiba-tiba tertarik mengamati mobil BMW baru yang ada di depan mereka. Dia lihat sopirnya merokok. Sendirian.Lalu membuang abu rokok ke jok kosong.

"Membuang abu rokok ke jok mobil baru?" Pikiran opsir muda berputar keras. "Tidak mungkin si pemilik akan melakukan hal itu.Tidak juga teman dari si pemilik mobil tersebut."

Gotcha.
Pasti mobil itu sedang dicuri!

(2) Kenneth Williams, agen FBI di Phoenix, Arizona, AS, mengendus hal mencurigakan. Dua bulan sebelum serangan 11 September 2011 dia melihat sejumlah warga Arab ambil les menerbangkan pesawat.

Herannya, mereka tidak berlatih hal yang paling penting dari penerbangan pesawat. Yaitu saat take-off dan landing.

Insight Williams terpatuk. Tanggal 10 Juli 2011 dia kirim memo ke markas besar FBI, terkenal sebagai Memo Phoenix. Dia menyarankan untuk mengawasi aktivitas serupa di seluruh negeri. Juga memeriksa visa orang asing yang belajar penerbangan di Amrik. Ternyata memonya tidak digubris oleh markas besar FBI.

Kedua cerita mengenai insight itu saya kutip dari buku Seeing What Others Don't (2013), karya Gary Klein.

Di era VUCA yang banyak kekaburan itu maka ketajaman insight menjadi faktor pembeda dalam meraih sukses. Sayangnya, pendidikan kita terlalu steril. Murid-murid belasan tahun terpenjara dalam tembok.

Pepatah luhur bahwa "alam terkembang jadi guru," hanya akan jadi hiasan manis belaka, ya Pak @Nadiem Makarim?