Kompas,
Jumat, 14 Desember 2018 : 7
Teknologi
digital terus melakukan lompatan. Baru saja kita tercengang oleh kecerdasan
buatan, sekarang kita harus bersiap menghadapi automasi industri. Fenomena ini
membuat sebagian anak muda optimistis dan sebagian lagi pesismistis melihat
masa depan.
Di sebuah
pabrik besar di Jawa Tengah, mesin-mesin cerdas terus mencetak ribuan produk.
Keluar dari mesin produksi, robot-robot lalu memilih produk yang memenuhi
standar dan lalu mengemasnya. Produk yang sudah dikemas selanjutnya diangkut forklift yang dijalankan oleh sensor ke
gudang penyimpanan.
Selama 1-2
jam dipabrik itu, hanya ada seorang tenaga kerja yang sedang memeriksa mesin
yang macet. Pabrik itu memberikan ilustrasi yang nyata bagaimana era Revolusi
Industri 4.0 (revolusi industri tahap empat) telah hadir di sini. Revolusi
Industri 4.0 ditandai dengan automasi yang melibatkan mesin dan kecerdasan
buatan (artificial intelligence).
Teknologi
baru ini di satu sisi memberi harapan, di sisi lain membuat banyak orang
khawatir, terutama jika mesin-mesin cerdas itu akan mengambil alih sebagian
besar pekerjaan manusia. Kekhawatiran itu tertangkap dalam survei Litbang
Kompas di kalangan anak muda yang umumnya lebih akrab dengan teknologi digital.
Hasil survei yang digelar 1-2 Desember 2018 itu menunjukkan 72,3 persen anak
muda khawatir dengan masa depannya akibat disrupsi teknologi digital.
Dari
responden yang khawatir, 58.8 persen berpendapat, persaingan untuk mendapatkan
pekerjaan akan semakin ketat. Sisanya khawatir jika semua aspek kehidupan
berbasis pada teknologi digital hidup kita akan diatur oleh mesin pintar. Hanya
27,2 persen responden yang mengaku tidak khawatir dengan masa depannya.
Alasannya, mereka merasa punya kemampuan untuk memetik keuntungan yang
ditawarkan teknologi baru.
Survei
diikuti 430 responden berusia minimal 16 tahun di 15 kota di Indonesia yang
dipilih secara acak, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Di antara
anak muda yang khawatir dengan disrupsi teknologi digital adalah Alan (27),
mahasiswa jurnalistik sebuah perguruan tinggi swasta di Palembang. Ia merasa
tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk bersaing dengan anak muda lainnya
guna mendapatkan pekerjaan di era teknologi baru. Ia mengaku tidak mendalami
teknologi digital dan belum memiliki rencana masa depan.
Sebaliknya,
Arif Nain (28) yang tinggal di ujung utara Indonesia justru begitu optimistis
menghadapi masa depan. Ia bercerita, di kampungnya Desa Semempang, Bunguran
Timur, Kabupaten Natuna, Internet baru masuk tahun lalu dan kualitas
jaringannya semakin baik tiga bulan lalu. Sejak saat itu, ia rajin mengunggah
video pendek dan foto-foto Natuna yang instagramable
ke media sosial. Dari situ, ia bisa menggaet wisatawan domestik dan mancanegara
untuk datang ke Natuna.
“Dulu banyak
yang tanya, Natuna itu Indonesia atau Malaysia ? Sekarang mereka bertanya,
bagaimana cara ke Natuna, he-he,” kata Arif yang biasa dipanggil Naen, Senin
(10/12/2018).
Sikap
optimistis juga disampaikan Apolonia Ineru Bahali (26), anak muda dari Labuan
Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Saat ini, ia bekerja sebagai
kontributor sebuah stasiun televisi.
Jika suatu saat perusahaan tempatnya bekerja mati gara-gara disrupsi
teknologi baru, ia berencana memanfaatkan kemampuannya membuat konten digital
yang bisa dimonetasi.
Banyak peluang
Disrupsi
teknologi -ketika teknologi baru menggeser teknologi lama berikut tatanan yang
mapan- dalam sejarahnya memang selalu memacu harapan sekaligus memicu
kecemasan. Banyak orang memprediksi, di masa depan sebagian pekerjaan manusia,
terutama yang bersifat rutin dan berpola, akan diambil alih oleh mesin cerdas.
Namun, pekerjaan yang melibatkan kreatitivitas, ide, emosi, empati, dan etika
tidak akan tergantikan oleh mesin.
Selain itu,era
digital juga menyediakan peluang-peluang baru bagi anak muda yang punya
keahlian khusus di bidang teknologi internet atau konten kreatif. Peluang itu
ditangkap Henry Jufri, anak muda
yang hanya sekolah sampai kelas IV SD. Dulu, ia bekerja sebagai kuli panggul di
Pelabuhan Soekarno-Hatta, Sulawesi Selatan.
Kini, ia
menjadi pengembang gim dan aplikasi. Ia mengaku baru mengenal internet tahun
2012 di warnet dekat rumahnya. Dia langsung takjub melaihat kecanggihan
internet, terutama mesin pencari Google. Ia pun mengetik kalimat pertamanya di
laman Google, “cara menghasilkan uang dari internet”.
Google
memberi banyak jawaban, salah satunya adalah menjadi bloger. Henry pun belajar
membuat blog, belajar mengoptimalkan mesin pencari atau SEO, belajar digital marketing,
dan membaca aneka buku tentang internet. Dua tahun kemudian,ia sudah menjadi
bloger dan mendapat penghasilan pertama dari Googke sebesar 100 dollar AS.
Ia semakin
terpacu mengoptimalkan internet dan mulai melirik dunia gim. Ia belajar
mengembangkan gim dari komunitas dan tutorial di internet. Berkali-kali ia
gagal, hingga akhirnya berhasil. Ia kini telah menghasilkan 400-an gim dan
aplikasi. Dari situ, ia mencetak uang mulai dari jutaan hingga ratusan juta
rupiah.
Di Tangerang
Selatan, Banten, ada seorang tukang permak jins bernama Sumarno yang kini
beralih profesi sebagai youtuber. Konten akun Youtube-nya, Jamblang Studio,
masih berkaitan dengan profesi lamanya,
yakni tutorial cara menjahit dan membuat pola baju atau celana. Akun itu
sekarang memiliki 41.000 pengikut dan telah menghasilkan uang.
Mesin vs preman
Berbekal
keyakinan bahwa tidak semua pekerjaan
akan diambil mesin, Melki
(23), lulusan Fakultas Dakwah dan Ilmu KomunikasiUIN Jakarta, berani menatap
masa depannya. “Di era digital, toh, masyarakat masih tetap membutuhkan petani
atau nelayan,” ujar Melki yang berencana suatu saat akan pulang ke Pamekasan,
Madura, untuk menggarap 4 hektar ladang pertanian milik orangtuanya.
“Saya mau
menjadi petani, tetapi petani yang modern dan memanfaatkan teknologi. Saya akan
mengatur pola tanam komoditas, menggunakan internet untuk tahu harga komoditas,
dan memanfaatkan jaringan untuk memotong peran tengkulak.”
Ia yakin
rencananya akan berhasil. Hambatan yang akan menghadangnya, menurut Melki,
bukan teknologi, melainkan sepak terjang tengkulak yang beraksi seperti preman.
“Tapi preman hanya bisa dihadapi oleh manusia. Apakah mesin pintar itu bisa
mengatasi premanisme ? Kalau bisa, saya mungkin tak akan pernah bermimpi untuk bertani.
Serahkan saja semuanya pada mesin pintar.”
Transisi
Sosiolog
FISIP Universitas Gajah Mada, Arie
Sujito, menilai, wajar jika banyak orang –termasuk anak muda- ada yang optimistis dan pesimistis menghadapi
disrupsi teknologi. Pasalnya, kita masih berada di fase transisi. Ketika masih
tergagap-gagap menjalani revolusi tahap tiga, kita sudah harus melangkah ke
revolusi tahap empat.
Arie
melihat, banyak anak muda yang sudah melangkah ke era teknologi baru, tetapi
kebanyakan belum sanggup mentransmisikan teknologi ke dalam kultur dan cara
pandang baru. “Sebagian baru memonetasi teknologi dan menggunakan teknologi
monetisasi. Akibatnya, kalau sudah
banyak uang, bingung karena tidak punya mimpi lain yang lebih besar.”
Kultur dan
cara pandang baru yang bisa dikembangkan, menurut Arie, misalnya mengaitkan
kegiatan ekonomi dengan misi-misi sosial. Hal ini sudah mulai dilakukan oleh
anak muda yang menjadi usahawan sosial. Apabila gerakan ini terus membesar,
hasilnya akan sangat luar biasa. Kesejahteraan akan semakin terbagi ke banyak
orang.
(JAL/TRI/VDL/BSW/LITBANG
KOMPAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar