Oleh : Ari Kuncoro
Guru Besar dan Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Kompas, Sabtu, 12 Januari
2019 :6.
Dalam pergaulan kaum
milenial sekarang, ada istilah “gaptek” atau gagap teknologi yang menggambarkan
kegagapan banyak orang pada apa yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0.
Perkembangan teknologi
informasi yang kemudian berwujud pada penggunaan gawai dan platform, seperti
telepon pintar, teknologi informasi berbasis cloud dan data analytic,
telah melanda masyarakat, baik secara individu, kelompok maupun secara
institusi.
Ide dapat menghasilkan
pemikiran baru dan melalui kemampuan berargumentasi dan berinteraksi dengan
orang lain/masyarakat dapat diwujudkan jadi aplikasi fisik (gawai/gadget) ataupun nonfisik (sistem).
Sayang sekali skor PISA (Programme for
International Student Assessment) yang diujikan pada murid-murid sekolah
dasar sedunia masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-62 dari 70 negara yang
disurvei. Seperti yang sudah diduga, matematika dan membaca merupakan titik
lemah.
Sofistikasi bisnis
Indonesia adalah termasuk
pengguna media sosial terbesar di dunia (143 juta pemakai), tetapi penggunaan
internet untuk daya saing bisnis masih tertinggal. Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index)
menempatkan Indonesia di peringkat ke-32 untuk sofistikasi bisnis (business sophistication) dan peringkat
ke-80 untuk kesiapan teknologi. Salah satu contoh sederhana adalah penggunaan e-mail untuk menghubungi pelanggan, penggunaan situs perusahaan, dan lain-lain
karena kelemahan dalam komposisi (merangkai kata-kata sehingga mempunya daya
argumentasi yang kuat).
Dalam dunia bisnis,
terutama relasi internasional teknologi informasi berperan sangat penting.
Kegagalan melakukan tindak lanjut (follow
up), berkoordinasi. Dan menepati jadwal penyerahan barang (delivery) dapat mengakibatkan suatu
perusahaan terpelanting atau terkucil dari jaringan distribusi/produksi
internasional. Saat ini keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi
internasional mengalami stagnasi (Ando dan Kimura [2013]).
Di sektor manufaktur
Indonesia, basis ekspor sekarang lebih terkonsentrasi di sektor makanan (ekspor
minyak kelapa sawit) dan otomotif yang didominasi oleh prinsipal dari Jepang
dan Korea Selatan. Basis ekspor ayng sempit ini menyebabkan Indonesia rentan
terhadap siklus bisnis dan disrupsi terhadap perdagangan dunia, seperti yang
terjadi saat ini sebagai akibat dari perang dagang AS-China.
Neraca perdagangan yang
defisit pada beberapa bulan tertentu ditahun2018 turut menjelaskan kelemahan
sumber daya manusia (SDM) Indonesia dalam menghadapi perubahan di jaringan
produksi internasional yang makin tersebar di berbagai lokasi/negara.
Penguasaan teknologi informasi mutlak dibutuhkan untuk konfigurasi produksi
seperti ini. Secara spesifik kemampuan manajemen logistik dan kemampuan
mengelola manusia dengan latar belakang yang berbeda (kemampuan bahasa dan
koordinasi) adalah dasar-dasar untuk memperbaiki peranan Indonesia dalam
jaringan produksi internasional.
Bagi Indonesia, tidak ada
cara lain kecuali memperbaiki kelemahan di pendidikan dasar ini dengan
kurikulumyang mengembangkan logika, bahasa, dan kreavitas. Matematika harus
diajarkan sebagai logika tidak semata-mata sebagai alat menghitung apalagi
hafalan, bahasa diajarkan sebagai media untuk emlakukan analisis naratif yang
kritis dan berargumen. Mata ajar yang mendorong kreativitas seperti mengarang
esai, bercakap-cakap, dan prakarya perlu diintensifkan kembali.
Dengan perbaikan talenta
dasar seperti itu pun tidak ada jaminan bahwa semua pekerjaan akan dapat
dipertahankan. Otomatisasi dan digitalisasi akan menghilangkan beberapa jenis
pekerjaan, seperti kasir di loket bank, pemasar jarak jauh, atau paling tidak
seperti auditor berubah menjadi analis.
Tingkah laku konsumen
Dengan efek
demosntrasinya, teknologi informasi mampu menggoda masyarakat untuk merambah
hierarki kepuasan Maslow (1987) ke tingkat yang lebih tinggi. Pertumbuhan pada
konsumsi jasa, seperti hotel dan restoran, melakukan perjalanan lebih tinggi
dari konsumsi makanan, pakaian, sepatu, dan perlengkapan rumah tangga sejak
Juni 2015. Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada
triwulan III-2018 pengeluaran konsumen untuk hotel dan restoran tumbuh sebesar
5,6 persen per tahun (year on year/YOY),
demikian juga pengeluaran untuk transportasi.
Pertumbuhan ini ada di
atas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencatat 5,17 persen per
tahun (YOY) dan juga konsumsi masyarakat secara keseluruhan (5,2 persen per
tahun YOY).hal ini dikonfirmasi dengan pertumbuhan sisi produksi perekonomian,
subsektor hotel dan restoran tumbuh5,9 persen YOY, transportasi dan pergudangan
5,6 persen, serta perdagangan besar dan eceran 5,3 persen.
Selain keunggulan di
bidang SDM, bisnis daring (online)
internasional punya peluang untuk memiliki keunggulan tidak sepadan (different level playing field) terhadap
bisnis konvensional dan daring dalam negeri. Industri ritel dalam negeri dengan
beban regulasi yang mereka hadapi mungkin harus menghadapi rantai pasokan
transnasional dengan beban regulasi, seperti perpajakan, lingkungan, dan
persaingan usaha yang jauh lebih ringan.
Meningkatnya pertumbuhan
sektor pergudangan, misalnya, mungkin hanya mencerminkan gejala ini. Sejak
maraknya bisnis daring pada 2015 telah terjadi kenaikan pesat dari impor bahan
konsumsi tahan lama dan semi tahan lama. Untuk tahun 2016 dan 2017,
rata-ratanya adalah 2 persen per tahun.jauh lebih tinggi dari barang konsumsi
tidak tahan lama (11,6 persen), bahan baku dan penolong (6,5 persen), serta
barang modal (0,91 persen).
Cara pandang ke depan dan
metode pengambilan keputusan
Perkembangan teknologi
informasi meneybabkan sifat interaksi antara individu dan pemangku kepentingan
antara tidak lagi sekadar satu arah atau dua arah, tetapi lebih merupakan suatu
strategic game dengan banyak pelaku.
Implikasi bagi pengambil
keputusan, baik pemerintah, korporasi, maupun institusi lain, hal ini akan
memerangi perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang dalam membuat,
menilai, dan memahami prospek (outlook)
ke depan dalam bidang sosia-ekonomi, perkembangan teknologi, pergeseran
aliansi, geopolitik dan perubahan tingkah laku masyarakat.
Berbeda dengan yang
sebelumnya, yang membuat adaptasi teknologi pada Revolusi Industri 4.0 sukar
adalah sifatnya yang virtual dan perkembangan teknologinya yang begitu cepat
mendahului daya serap institusi pengambil keputusan. Kebiasaan yang lazim
digunakan adalah menggunakan data ex-post
yang dikumpulkan di masa lalu dan bukan real
time.
Setelah penyaringan data,
informasi yang ada kemudian dibawa ke focus
group discussion (FGD) untuk diambil keputusan. Berbeda dengan pendekatan
di atas, metode pengambilan keptusan terbaru a la Industri 4.0 disebut sebagai headline matching. Pendekatan ini
mencoba mencari pola tingkah laku manusia dari mulai kepala negara, pemilik modal,
sampai konsumen dari berita-berita utama di media baik cetak maupun daring.
Dari berbagai berita utama
tersebut, tampak awam mendung mulai berkumpul di ufuk barat. Kejatuhan harga
saham di Amerika Serikat ini adalah ayng terburuj setelah Depresi Besar 1930-an.
Beberapa pihak telah meramalkan bahwa resesi di AS sudah dekat. Tanda-tanda
lainnya adalah kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang terlalu dini
dan ketegangan perseteruan daang AS-China yang belum juga mencapai titik temu.
Seperti halnya pepatah
dalam setiap kesempitan selalu ada kesempatan, beberapa pihak justru melihatnya
sebagai kesempatan untuk kebangkitan Asia, khususnya Asia Tenggara. Pemodal
jangka pendek dan jangka panjang diperkirakan akan kembali ke Asia. Harga
minyak yang cenderung turun akan menguntungkan negara-negara importir neto (net importer) seperti Indonesia,
Vietnam, dan Thailand diperkirakan akan menerima dari rantai pasokan dari
industri berteknologi tinggi di China yang terpaksa hengkang dari China karena
perang dagang.
Readiness for Future Production Report (World Economic Forum, 2018) menyebutkan bahwa dalam
kesiapan menghadapi Industri 4.0 dari struktur produksi, Thailand dianggap
sudah siap. Vietnam dan Indonesia masih agak tertinggal karena dikategorikan
sebagai nascent countries pada driver and structure of production, yang
artinya sudah mulai terlihat eksistensinya, mempunyai potensi, tetapi perlu
bekerja lebih keras.
Walaupun demikian, Vietnam
mempunyai keuntungan secara geografis karena lebih dekat ke jalur perdagangan
atau distribusi internasional. Peluang bagi Indonesia adalah dengan memilih
satu atau dua lokasi di jalur selat Malaka sebagai pusat logistik, misalnya di
Kuala Namu, Batam, atau Kepulauan Riau.