Oleh : Muhammad Ridha
Akademisi UIN Antasari Banjarmasin; Alumni Program Magister
Teknologi Pembelajaran Universitas Negeri Malang
Jumat, 16 Maret 2018
Revolusi industri keempat (4.0) atau bisa disebut sebagai
revolusi digital memberikan tawaran yang sangat menarik bagi dunia pendidikan.
Dunia pendidikan sepertinya tidak bisa terlepas dari
pengaruh perkembangan teknologi, jika kita tidak ingin menyebut revolusi
industri. Perkembangan informasi dan komunikasi teknologi yang semakin masif
dan cepat dewasa ini harus diakui telah memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap dunia pendidikan.
Revolusi industri keempat (4.0) atau bisa disebut sebagai
revolusi digital memberikan tawaran yang sangat menarik bagi dunia pendidikan,
utamanya berkaitan dengan akses terhadap beragam informasi dan kemudahan untuk
membagikan beragam informasi tersebut secara cepat hampir dimanapun, kemanapun
dan kapanpun.
Kemudahan untuk mengakses dan membagikan beragam informasi
tersebut secara tidak langsung memberikan tawaran segar bagi kemudahan
penerapan heutagogy learning (self-determined learning) yang sebenarnya sudah
ditawarkan sejak lebih dari satu dekade
silam. Heutagogi menawarkan kebebasan kepada pembelajar (learner) untuk menentukan
(determine) sendiri belajarnya.
Meliputi konten yang akan dipelajari, strategi belajar yang
akan digunakan dan jenis asesmen yang akan digunakan, seperti dijelaskan
Stewart Hase & Chris Kenyon (2013) bahwa “… the essence of heutagogy is that in some learning situations, the focus
should be on what and how the learner wants to learn, not on what is to be
taught…”.
Dengan kata lain, heutagogi memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk menentukan pilihan secara bebas tentang apa yang akan
dipelajari dan bagaimana mempelajarinya.
Atau, seperti dianalogikan Waras Kamdi (Kompas, 2018)
heutagogi bisa dianalogikan sebagai suatu cara menghidangkan makanan dengan
bentuk prasmanan, di mana orang yang
akan menikmati hidangan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan
disantap, media apa saja yang pas untuk digunakan dan bagaimana cara
menyantapnya.
Heutagogi menawarkan kolaborasi aktif (double hands) untuk
menentukan pembelajaran, meliputi konten apa yang tepat untuk dipelajari,
bagaimana cara mempelajarinya dan bagaimana bentuk penilaian yang akan
digunakan untuk membuktikan bahwa suatu kompetensi sudah berhasil dikuasai
dengan baik.
Learner dan teacher saling bertukar pikir tentang apa yang
pas untuk dipelajari oleh pebelajar dan bagaimana cara membelajarkannya atau
langkah-langkah pembelajaran dan sumber-sumber belajar apa yang digunakan untuk
mencapai tujuan belajar yang sudah ditentukan tersebut. Dengan kata lain posisi
pembelajar lebih sebagai fasilitator atau konsultan pembelajaran.
Heutagogi menjadi sangat menarik untuk diimplementasikan,
mengingat cara pandang yang diajukannya tentang pebelajar sebagai agen
pembelajar aktif (active agent) yang memiliki kebebasan untuk menetukan sendiri
belajarnya. Hal ini agak sedikit berbeda dengan konsep yang ditawarkan pembelajaran
konstruktif (Constructive Learning), meskipun sama-sama memandang bahwa
pebelajar adalah individu yang aktif yang mampu merekonstruksi sendiri
pengetahuannya melalui keaktifannya dalam proses pembelajaran.
Dalam pembelajaran konstruktif, meskipun fokus utama sama
dengan pembelajaran heutagogi, yaitu pada belajarnya pebelajar, bukan pada
mengajarnya pembelajar, namun dalam pembelajaran konstruktif pebelajar masih
kurang memiliki kebebasan dalam menetukan apa yang harus dipelajari, bagaimana
mempelajari dan bagaimana mengukur dan menunjukkan bukti bahwa ia sudah
menguasai suatu kompetensi tertentu tersebut.
Apa yang harus dipelajari dan bagaimana mengukur dan menilai
capaian suatu kompetensi tertentu masih lebih banyak ditentukan oleh pembelajar
atau pada apa yang sudah disediakan sebagai satu-satunya pilihan.
Hanya saja dalam prosesnya pebelajar lebih diberikan
kebebasan untuk aktif merekonstruksi pengetahuannya dengan melakukan beragam
aktivitas pembelajaran, tidak hanya sekedar pasif menunggu dijelaskan oleh
pembelajar.
Sedangkan konsep yang ditawarkan heutagogi, pebelajar
diberikan kebebasan sejak awal untuk menentukan tentang apa yang akan
dipelajari, bagaimana membelajari dan bagaimana membuktikan bahwa apa yang
dipelajarinya tersebut sudah dikuasainya, meskipun dalam menetukan tersebut
masih ada keterlibatan pembelajar (teacher) sebagai konsultan belajarnya.
Namun, yang perlu untuk digarisbawahi bahwa dalam praktiknya
heutagogi lebih menekankan pada tingkat kemandirian (higher level of autonomy)
dan kematangan pebelajar dalam belajarnya, sebagaimana dijelaskan Blashcke
(2012) bahwa tingkat kematangan belajar pebelajar (the learners maturity) memberikan pengaruh pada kebutuhan
pendampingan belajarnya, yaitu semakin matang seseorang dalam hal kemandirian
belajarnya, maka persentase kontrol pembelajar
harus semakin dikurangi.
Dalam penerapan pedagogi peran pembelajar masih sangat
dominan dibandingkan peran pebelajar. Selanjutnya, peran pembelajar menjadi
semakin berkurang dalam penerapan andragogi dan menjadi sangat sedikit sekali
dalam heutagogi, dimana pembelajar bukan lagi sebagai pendamping pembelajaran,
namun lebih sebagai konsultan pembelajaran.
Dengan kata lain, meskipun sangat menjanjikan, kesuksesan
penerapan heutagogi hanya akan maksimal jika target belajarnya memiliki tingkat
kemandirian dan kematangan belajar yang cukup, yaitu memiliki visi belajar yang
jelas, memiliki pemahaman yang baik tentang kecenderungan belajar dan gaya
belajar (metacognitive skill) yang dimiliki.
Jika tidak, maka ia akan kesulitan untuk menentukan
(determine) tentang apa yang sebaiknya ia pelajari dan bagaimana mempelajarinya
serta bagaimana harus membuktikan bahwa ia telah menguasainya.
Heutagogi tidak hanya berorientasi pada usaha penguasaan
suatu kompetensi tertentu saja, melainkan juga pada tingkat peningkatan
kapasitas dan kapabilitas kompetensi tersebut. Output yang ingin dihasilkan
dari penerapan heutagogi ini adalah generasi-generasi yang memiliki kompetensi
tertentu dengan kapasitas mengembangkan dan kapabilitas menerapkannya pada
berbagai situasi dan kondisi dilapangan yang selalu berubah dan berkembang atau
dengan istilah lain generasi pebelajar seumur hidup yang selalu berkembang
Oleh karena itu, jika pendidikan 4.0 kita hari ini diarahkan
pada penerapan heutagogi, maka kemampuan metakognitif, kemampuan memahami dan
merumuskan visi ke depan harus mulai diajarkan sejak tingkat pendidikan awal.
Tidak sedikit generasi muda kita hari ini yang masih belum
menentukan apa yang ingin dicapainya di masa depan atau tidak tahu sama sekali
apa yang harus dicapai dan dilakukannya di masa depan.
Kurangnya kemampuan dan kesadaran untuk memahami tujuan
hidup, kecenderungan belajar dan gaya belajar yang dimiliki secara tidak
langsung menghambat usaha-usaha dalam pengembangan diri, baik kepribadian,
kompetensi serta kapasitas dan kapabilitas pribadi.
Meskipun memang, heutagogi masih belum cocok untuk
diterapkan disemua bidang keilmuan, karena berpotensi menimbulkan kekacauan
dalam hal penguasaan suatu keahlian tertentu. Heutagogi juga masih belum
menemukan formulanya yang tepat untuk diterapkan pada jenjang pendidikan awal. Inilah mungkin tantangan dalam
penerapan heutagogi ke depan, yaitu menemukan dan memastikan suatu formula yang
tepat untuk diterapkan pada semua jenjang pendidikan dan semua bidang kajian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar