Oleh : Yanuar Nugroho
Deputi II Kepala Staf
Kepresidenan RI
Kompas, 5 Maret 2018
Pertanyaan kunci mereka
adalah, “Jika banyak profesi dan pekerjaan manusia akan digantikan oleh mesin,
bagaimana kami yang masih muda ini akan memperoleh lapangan pekerjaan?”
World Economic Forum (WEF)
memperkirakan, dalam periode 2015-2020, jutaan pekerjaan akan berkurang dan
digantikan mesin, robot, kecerdasan intelektual (artificial intelligence) dan
perangkat komputasi lain. WEF membuat enam kelompok pekerjaan yang jumlahnya
akan menurun signifikan selama lima tahun. Administrasi perkantoran adalah
sektor kerja yang paling banyak akan menutup lapangan kerja bagi manusia,
sekitar 4,8 juta. Disusul manufaktur dan produksi hingga 1,6 juta tenaga kerja.
Peringkat ketiga,
konstruksi dan ekstraksi yang akan meminggirkan setengah juta manusia; disusul
desain, seni, hiburan, dan media kurang lebih 150.000 orang. Sektor hukum dan
legal akan menyusut hingga 100.000 lapangan kerja, dan instalasi dan
pemeliharaan hingga 40.000 orang (Future of Jobs Report, WEF, 2016).
Dua tahun sejak laporan
dilansir, perkiraan WEF mulai jadi kenyataan. Bisnis-bisnis yang mulai
menunjukkan deformasi dalam hal lapangan pekerjaan antara lain adalah perbankan
dan perminyakan (ekstraksi). Di industri perbankan, bank-bank besar di Tanah
Air mulai tahun ini sudah akan membuka mesin teller yang akan menggantikan
pegawai-pegawai yang melayani konsumen.
Sejak September 2016, transaksi
perbankan daring (online banking)
sudah melampaui transaksi yang dilakukan di cabang-cabang. Industri perminyakan
juga mulai mengurangi karyawan-karyawan mereka, terutama untuk
pekerjaan-pekerjaan kantoran, sejak awal 2017.
Bagaimana menanggapi ini?
Sebagaimana semua hal di bawah kolong langit, selalu ada sisi lain dari setiap
kenyataan. Sketsa ringkas berikut mencoba membantu memetakan perubahan di zaman
baru ini.
Zaman baru, lapangan baru, peluang baru
Kita masuk ke zaman baru.
Zaman yang disebut zaman revolusi industri keempat atau industry 4.0. Di zaman
ini, ada sejumlah penanda pokok: muncul dan berkembangnya sistem fisik-siber
(cyber-physical systems yang menyatukan dunia fisik, digital, dan biologis),
the Internet of things, cloud computing, dan cognitive computing. Industry 4.0
ini membawa sejumlah dampak disruptif – salah satu yang utama adalah lapangan
kerja.
Masifnya informasi tentang
menyusutnya lapangan pekerjaan, yang kemudian dikonsumsi secara mentah oleh
anak-anak muda pencari dan calon pencari kerja, memang tak diiimbangi secara
sepadan dengan berita tentang munculnya profesi-profesi baru yang belum pernah
ada sebelumnya.
Di dunia media, misalnya,
sebelum 2012, praktis tak dikenal suatu posisi atau jabatan yang disebut
digital media strategist. Juga tak dikenal digital media analyst. Kini, kedua
posisi ini menjadi kunci kemajuan industri media yang mau-tidak mau harus
bermetamorfosis secara adaptif ke lanskap digital.
Dalam bidang teknologi
informatika, sebelumnya orang hanya mengenal profesi pemrogram (programmer)
atau perancang web (web developer). Namun dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir,
profesi ini telah membelah diri dengan spesialisasi yang makin runcing. Ada
yang disebut search engine optimiser. Ada pula user experience designer atau
front-end developer. Spesialisasi ini dituntut karena kian meluasnya spektrum
pengguna internet dengan berbagai kebutuhan yang kian personal.
Ketika fenomena industri
perbankan dihadapkan pada peningkatan efisiensi yang berimbas pada pengurangan
pekerjaan, ingatan orang langsung melayang pada pernyataan Bill Gates tahun
1994 yang secara kontroversial mengatakan di masa depan, “… banking is
necessary, but banks are not.” Saat itu, semua orang terhenyak mendengar
pernyataan pendiri Microsoft ini, mengingat industri perbankan waktu itu justru
sedang kuat-kuatnya.
Tapi, seperempat abad
kemudian, pernyataan itu seperti nubuat yang terwujud. Sama seperti nubuatnya
tahun 1980-an saat ia mengatakan komputer akan mengisi setiap rumah yang ada di
kolong langit. Ia benar. Tak hanya mengisi setiap rumah, hari ini perangkat
komputasi sudah mengisi setiap kantong celana manusia.
Jika dikupas lebih dalam,
industri keuangan dan perbankan hari ini, yang di permukaan seolah-olah telah
mengubur ratusan ribu lapangan pekerjaan lama, sebenarnya memberikan peluang
dan lapangan baru yang tak kalah besar. Teknologi keuangan (financial
technology) atau populer disebut fintech, berubah secara transformatif dari
yang bersifat administratif ke arah solusi kreatif.
Meskipun dari sisi
taksonomi pekerjaan definisi seperti analis atau manajer proyek masih
menggunakan pengertian lama, kategori ini juga mengalami pembelahan yang makin
terspesialisasi, sehingga melahirkan ruang-ruang baru dalam urusan lapangan
pekerjaan. Pemahaman akan bagaimana crypto-currency bekerja, misalnya, akan
meningkatkan peluang kerja di sektor keuangan di zaman digital ini.
Di industri transportasi
dan wisata, sekalipun banyak biro perjalanan dan biro wisata tradisional harus
gulung tikar, kemunculan layanan transportasi dan wisata berbasis digital
seperti traveloka, airbnb hingga tripal telah melahirkan berbagai jenis
kategori pekerjaan baru yang lebih spesifik. Di dunia bisnis pada umumnya,
sebelum 2014 istilah data scientist atau data analyst juga masih terdengar
asing di kalangan pencari kerja. Kini kedua profesi amat dibutuhkan, bahkan
juga di dunia pemerintahan, yang sering dianggap lambat dibanding bisnis.
Keahlian khusus di bidang big data analytics, augmented reality, dan virtual
reality, akan sangat dibutuhkan sebagai seorang strategist, baik di perusahaan
swasta atau pemerintah.
Perencanaan pembangunan
yang akurat butuh tak hanya data dan evidence, tetapi kemampuan perencana yang
mengerti proses-proses teknokratik di zaman digital. Bahkan secara spesifik,
keahlian development planner dan digital strategist dibutuhkan sekaligus agar
perencanaan pembangunan di era ekonomi digital ini relevan dan tidak
ketinggalan zaman.
Tak hanya itu, jangkauan
dan dampak teknologi digital ini merambah bahkan hingga di
organisasi-organisasi politik. Di Inggris, 10 tahun lalu, partai-partai politik
sudah menggunakan augmented reality untuk menganalisis kekuatan dan menyusun
strategi elektoralnya. Satu di antara cases itu bahkan menjadi bahan disertasi
S2 yang saya bimbing sendiri saat itu di University of Manchester.
Saya yakin, di Indonesia,
sebentar lagi hal ini akan terjadi. Bayangkan kecanggihan jika mengombinasikan
big data analysis, artificial intelligence dengan augmented reality untuk
memetakan potensi elektoral sebuah parpol. Lembaga-lembaga survei politik akan
segera ditinggalkan jika tak segera meningkatkan kemampuannya di tengah deru
kemajuan digital ini.
Tantangannya adalah apakah
mereka yang semula sudah menggeluti pekerjaan ini selama bertahun-tahun atau
berpuluh-puluh tahun, seperti para karyawan swasta atau birokrat pemerintah
bahkan aktivis lembaga masyarakat, mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri
dengan deskripsi dan jenis pekerjaan baru dalam sektornya atau tidak. Karena,
hukum seleksi alam akan tetap berlaku: “Mereka yang tak mau berubah akan
tinggal menjadi catatan sejarah.”
Ekosistem digital
Dalam ekosistem digital,
segala sesuatu yang manual, natural, dan mekanis akan tergantikan oleh yang
digital. Digital mengandaikan adanya akurasi dan kontrol pada suatu sistem
setiap saat (real time). Kegelisahan anak-anak muda yang saya temui di
kampus-kampus terkemuka di negeri ini memperlihatkan masih adanya ketimpangan
dan kesenjangan informasi dalam merespons gerak ekonomi baru.
Presiden Jokowi yang rajin
mendatangi kampus-kampus di Tanah Air, mengingatkan pentingnya kita bergerak
cepat dan lincah untuk merespons ekonomi model baru ini. Ia mengingatkan
fakultas dan jurusan di kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka untuk membuka
program studi-program studi baru yang adaptif terhadap kebutuhan di dunia
ekonomi digital. Dua contoh yang mengemuka dan disebutkan oleh Presiden adalah
industri media dan manajemen logistik.
Dalam konteks itu, Jokowi
menginginkan adanya suatu ekosistem yang berubah di lingkungan perguruan tinggi
sebagai pemasok utama kebutuhan di dunia kerja. Untuk mengubah ekosistem yang
adaptif terhadap perubahan, perguruan tinggi dituntut untuk mencari terobosan
dan inovasi, sehingga anak-anak muda ini mendapatkan gambaran, pengetahuan, dan
keterampilan yang memadai dalam bidang ilmu yang digelutinya, sesuai dengan
proses digitalisasi pada bidang-bidang ilmu yang ditawarkan oleh perguruan
tinggi.
Tak hanya itu, Presiden
Jokowi berulang kali juga menyatakan pentingnya membukakan wawasan baru bagi
anak-anak muda untuk terjun dalam kewirausahaan. Pada tingkat ini, pemerintah
berupaya terus membangun ekosistem-ekosistem kewirausahaan sehingga dapat
memanfaatkan potensi yang tersimpan dalam gerak zaman ekonomi digital ini.
Usaha yang dilakukan
Presiden Jokowi ini memiliki resonansi kuat dengan jejak rekam keberhasilan
para ‘penguasa’ ekonomi digital. Salah satu karakter unik industri perusahaan
pemula (start-up) berbasis digital adalah faktor diferensiasi dan daya saing
yang didasari kemampuan identifikasi masalah serta potensi solusi di tingkat
yang sangat mendalam.
Hal yang mungkin dilihat
kecil oleh organisasi konvensional, seperti penyajian user interface, ternyata
bisa jadi pembeda besar di industri ini. Misalnya satu unicornstartup di bidang
musik, spotify, berhasil menggandakan penggunaan hanya dengan menggelapkan
warna latar belakang aplikasi. Sensitivitas dan kepekaan menemukan permasalahan
sosial tak pernah jadi sepenting saat ini. Tingginya kapabilitas digitalisasi
suatu organisasi niscaya tersiakan tanpa kemampuan identifikasi permasalahan
yang presisi. Maka, jelaslah pentingnya soft skill dan pemaparan siswa terhadap
isu sosial dalam pengembangan kapasitas pengajaran atau pelatihan hard skill di
ranah digitalisasi.
Salah satu faktor
diferensiasi lain adalah kemampuan kapitalisasi nilai perusahaan yang tak
jarang ditentukan faktor soft lain seperti jejaring. Kapitalisasi perusahaan
dan usaha perolehan dana investasi sangat berpengaruh dalam membangun
perusahaan pemula. Hampir semua perusahaan pemula yang saat ini bernilai lebih
dari 1 miliar dollar AS belum menghasilkan profit dan menggantungkan pembesaran
skala perusahaan dengan subsidi harga pada para penggunanya.
Bagaimana caranya?
Suntikan dana investor. Tak jarang perusahaan pemula yang berawal dengan
kapasitas teknis terbatas, berhasil berkembang lebih pesat dari perusahaan lain
dengan kapasitas teknis lebih baik karena keunggulan jejaring pendirinya.
Lihatlah Tokopedia. Awalnya ia harus berhadapan dengan nama besar seperti
Lazada. Tapi William Tanuwijaya dan jejaringnya sukses mendatangkan investasi.
Investasi berarti subsidi; subsidi berarti traffic dan skala ekonomi. Kini
Tokopedia menjadi e-dagang terbesar di Indonesia.
Belajar dari sini,
kebutuhan jejaring, institusi intermediasi, konsorsium teknologi semakin tidak
terhindarkan jika ingin meraup manfaat di jaman ekonomi dan di tengah ekosistem
digital ini. Selain itu, penting melihat kebijakan pemerintah, agar bisa
menyiapkan kebijakan untuk memberi insentif yang tepat.
Ini dibutuhkan karena
ekosistem digital perlu kebijakan visioner. Misalnya, sektor transportasi
berbasis aplikasi yang masih menanggung beban konflik dengan sektor
transportasi konvensional. Insentif pajak juga harus lebih adil agar lebih
banyak UMKM masuk ke ranah e-dagang atau berjualan secara daring tak takut
‘naik kelas’. Saat ini, mereka lebih suka mempertahankan status pedagang kecil,
karena begitu naik kelas ke pedagang menengah, beban pajak langsung dirasakan
amat tinggi. BUMN yang bergerak di ranah digital juga harus mengubah pola pikir
dan mengikuti persaingan di ekosistem digital dengan lebih fair. Ini perlu
untuk mendorong munculnya kretivitas digital. Main blokir sejumlah aplikasi
yang dilihat jadi pesaing anak usaha BUMN telco bukanlah solusi. Terakhir,
memastikan tersedianya konektivitas internet dan back bone jaringan yang
memadai dengan segera.
Dengan jumlah penduduk
Bumi 7,6 miliar jiwa dan 53 persennya sudah mengakses internet, potensi yang
terkandung dalam ekosistem digital yang baru ini amat luar biasa. Namun, tak
perlu bermimpi menjangkau miliaran kepala. Dengan penduduk lebih dari 265 juta
dan separuhnya sudah mengakses internet, anak-anak muda republik ini sangat
potensial diajak memasuki wilayah-wilayah baru yang menantang spirit dan
keahlian mereka.
Implikasinya jelas: jika
kita mau mentransformasi anak-anak muda republik seiring transformasi di zaman
digital ini, kita perlu menciptakan atmosfer agar transformasi itu
terjadi. Ekonomi digital adalah fenomena
utama revolusi industri keempat ini. Strategi dan kebijakan yang tepat untuk
menjawab tantangan dan meraih peluang ini akan menjadi kunci mewujudkan
cita-cita Indonesia di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar